
KESENIAN TRADISIONAL
Menghibur dan Kritis Oke, Lalu Apa Lagi...????
Menghibur dan Kritis Oke, Lalu Apa Lagi...????
KOMPAS/ABDUL LATHIEF
Surabaya, Senin, 1 November 2010
Kegiatan berkesenian di Surabaya menggeliat! Indikasinya, tempat menggelar acara kesenian tidak hanya di Gedung Kesenian Cak Durasim. Pemerintah Kota Surabaya juga sedang membangun Gedung Kesenian di Kompleks BalaiPemuda dan Gedung Seni Pertunjukan Tradisional Pringgodani di Kompleks Taman Hiburan Rakyat di pusat kota.
Alasannya sederhana. Tinggal bagaimana kemauan Pemkot dan seniman sebagai pelaku dan kreator seni pertunjukan di kota ini memaknai keberadaan gedung tersebut.
Sebab tanpa aktivitas seni pertunjukan, keberadaan gedung seni pertunjukan tidak memiliki arti apa pun dan Surabaya sebagai ibu kota Provinsi Jawa Timur pun akan kehilangan nuansa kota urban yang bercitra seni dan budaya.
Seniman sendiri tidak berdaya jika kerja sendirian, dalam artian membiayai produksi karya sejak proses hingga pergelaran. Mereka beralasan untuk hidup saja sudah sulit, apalagi harus membiayai produksi dan pementasan. Realitas ini tersirat bagaimana seniman, mau tak mau, harus memiliki kemampuan bertahan hidup dan menghidupi keluarga sambil terus menggeluti kesenian.
Insan seni di Surabaya kerap kali mencari sumber penghidupan melalui jalan menjadi pelatih ataupun guru. Entah pelatih seni teater, seni tari, atau seni musik, bahkan menjadi juri festival atau lomba seni dan narasumber pelatihan seni dan budaya. Tujuannya sekadar mengais sumber-sumber penghidupan agar ekonomi keluarga tetap aman.
Sebaliknya Pemkot Surabaya khususnya, sadar atau menampik kesadaran, sesungguhnya memiliki tangung jawab sosial dan moral untuk menggerakkan aktivitas kesenian. Sebab, aktivitas kesenian dan berkesenian di kota besar, seperti Surabaya, sadar atau tidak ikut memberikan warna sekaligus pencitraan dan ikon bagi kota ini.
Kehidupan kesenian tradisional ludruk, ketoprak, dan wayang orang yang sampai sekarang bertahan hidup di kampung seni Taman Hiburan Rakyat Surabaya, boleh jadi adalah potret dan wajah Surabaya yang memelas. Artinya, kesenian tradisional tersebut masih bertahan karena belas kasihan Pemkot dengan pemberian subsidi pementasan dan fasilitas gedung.
”Cukup tidak cukup uang subsidi, manggung jangan pernah berhenti. Meski untuk bertahan hidup saja, seniman tradisional harus mencari penghasilan lain, ya melatih tari, mengajari kerawitan, termasuk menerima rias wajah,” kata Ketua Paguyuban Seniman Tradisional Kampung Seni Taman Hiburan Rakyat Surabaya Agus Wiyadi alias Yadek yang juga mantan sutradara ketoprak Humor Jakarta.
Seni pertunjukan tradisional sampai sekarang tetap bertahan hidup sepekan sekali (pentas setiap hari Jumat malam) atas subsidi sekitar Rp 25 juta-Rp 30 juta dan hanya cukup membayar honor ala kadarnya. Keprihatinan ini sepantasnya mengundang simpati dan empati siapa pun yang mengaku menghargai kekayaan seni dan budaya tradisi anak negeri.
”Seni dan budaya masih menjadi senjata (jargon) pejabat, sekadar wacana untuk dilestarikan yang diungkap melalui pidato di televisi,” kata Sugeng Rogo Wiyono, Wakil Ketua Paguyuban Seniman Tradisional Kampung Seni THR Surabaya.
Nasib seniman dan kesenian tradisional mencoba terus melestarikan warisan seni dan budaya anak negeri di Kampung Seni THR Surabaya, kendati kondisinya nyaris tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan oleh seniman dan pelaku kesenian modern dan kontemporer.
Mereka pun bersusah payah untuk menjaga eksistensinya, walaupun harus menunggu undangan untuk pentas, festival, ataupun proyek seni.
Ketua Bengkel Muda Surabaya Farid Syamlan yang sekarang ini menjadi Ketua Panitia Penyelenggara Kompetisi Teater Indonesia – a tribute to WS Rendra mengatakan, sudah selayaknya pemerintah memberikan subsidi untuk kesenian.
Alasannya kemajuan kesenian juga terkait dengan kepentingan pemerintah. ”Kesenian apa pun membutuhkan keterlibatan pemerintah, kalau memang mau dan menginginkan kesenian tumbuh subur,” katanya.
Hiburan untuk kaum urban perkotaan adalah keniscayaan. Faktanya, setiap hari bisa dipastikan orang akan mencari hiburan untuk pelepas suntuk habis kerja, sekolah, ataupun kuliah. Paling murah, tentu mememencet tombol televisi untuk pengobatnya.
Realitas itu memberikan gambaran bahwa produk kesenian memiliki peluang dan kesempatan untuk mendapat ruang apresiasi dan tempat di hati penonton. Syaratnya apa yang disajikan oleh seniman mampu memenuhi kebutuhan masyarakat penonton yang haus hiburan.
Ibarat menu makanan, untuk memenuhi selera konsumen atraksi yang ditampilkan juga harus beragam. Produk kesenian mau tak mau, suka atau tidak suka sepatutnya mampu memenuhi rasa haus masyarakat terhadap seni pertunjukan.
Persoalannya, seberapa kuat produksi karya kesenian, entah tari, teater, musik, dan seni tradisional menyikapi masyarakat penonton yang beragam selera dalam situasi dan kondisi kehidupan yang terus bergerak dinamis.
Budayawan Akhudiat menyatakan, sejak dahulu – zaman Belanda - Surabaya dikenal sebagai kota bekerja alias City of Work dan Kota Bandar alias pelabuhan, hiburannya tidak seperti Jogja dan Bali.
Seni pertunjukannya seni hiburan, lalu muncul komedi Stambul alias Tonil berbahasa melayu (Indonesia). ”Seni yang lain didatangkan dari luar, tapi laris,” kata Cak Diat, sapaan Akhudiat.
Apa yang dinyatakan Cak Diat itu ada benarnya tatkala kota arek yang mulai menampakkan identitas kota metropolitan, sampai sekarang ini cenderung lebih membutuhkan seni hiburan daripada seni pertunjukan yang menawarkan idealisme pemikiran dan gagasan.
Namun, bukan berarti kesenian arek Surabaya harus kehilangan roh ludrukan yang parikena dengan kritik sosialnya yang terkadang membuat telinga panas dan wajah memerah.
Pagupon omahe doro, melok Nippon tambah soro. Spirit kidungan Cak Durasim, sang seniman ludruk legendaris, tak ada salahnya menjadi bagian dari semangat dan gairah kesenian dan berkesenian di ibu kota Provinsi Jatim. Menghibur oke, kritis terhadap situasi dan kodisi zaman juga oke. Lalu apa lagi …?
Kini, masyarakat penonton menunggu, apakah denyut kesenian dan berkesenian di kota ini bergelora dengan kehadiran gedung kesenian baru nanti atau tambah surut. Ditunggu kiprahnya pelaku seni di Surabaya.
S E L E S A I