Sumber :
Lebih dari selusin pemuda yang menjadi pemeran menggunakan tablet komputer, ponsel dan sarana jejaring sosial populer sebagai alat bantu di atas panggung dalam pertunjukan mereka.
Mereka memasukkan pelintiran abad ke-21 ke dalam Ludruk, sebuah kesenian teater dari Jawa Timur dan Bali yang sudah berabad-abad umurnya dan sedang menghadapi kepunahan budaya, dalam sebuah pertunjukan yang digelar di Surabaya pada tanggal 15 Desember oleh kelompok lokal, Marsudi Laras.
Lakon musikal yang diberi judul "Akibat Facebook" ini mensandiwarakan bagaimana orang muda Indonesia menjadi tergantung pada sarana jejaring sosial dengan nama itu untuk berkomunikasi sebagai bagian dari interaksi sehari-hari mereka. Sepanjang pertunjukan, karakter-karakter tersebut memperbarui status Facebook mereka, mengirim berita secara online untuk memberi tahu jaringan mereka bahwa mereka sudah bangun, berada di sekolah atau bahkan sedang di kamar mandi.
Pemimpin kelompok ini yang berusia 50 tahun, Hartatok, berusaha menyelamatkan kesenian teater bersejarah tersebut dari kepunahan. Ia menyadari bahwa untuk bisa selamat dan menjadi populer kembali - terutama di kalangan orang muda - pertunjukan Ludruk sekarang harus memasukkan unsur-unsur modern.
"Sejujurnya, Ludruk sudah hampir punah di Surabaya dan di sebagian besar daerah di Jawa Timur. Saya akan berusaha untuk terus menjadikan Ludruk sebagai sebuah simbol kebanggaan untuk orang Jawa," kata Hartatok kepada Khabar Southeast Asia sesaat sebelum dimulainya pertunjukan kelompok ini pada bulan Desember.
"Saya mencoba melakukan perbaikan yang akan membuat pertunjukan kami lebih disukai generasi muda," tambahnya. "Saya memodifikasi cerita sesuai dengan era modern dan mengadopsi latar belakang yang bisa dikenal generasi muda. Jadi, mereka dapat mengatakan dengan bangga bahwa Ludruk merupakan bagian dari budaya mereka."
Secara tradisional, lakon Ludruk bercerita tentang orang biasa yang menghadapi masalah sehari-hari dengan menggabungkan sindiran dan dialog lucu, tarian dan musik. Cerita terjadi di dalam latar yang lebih luas, termasuk bab-bab bersejarah Indonesia seperti di masa kekuasaan kolonial Belanda dan penjajahan Jepang.
Ludruk biasanya diiringi ansambel gamelan yang gambang, gendang, seruling dan gong-nya menciptakan warna musik Indonesia yang paling klasik.
Kebanggaan di kalangan generasi muda
Salah satu dari anak didik Ludruk Hartatok adalah Ari Setiawan, seorang anggota berumur 22 tahun yang juga seorang mahasiswa antropologi di Universitas Airlangga di Surabaya.
"Bagi saya Ludruk merupakan panggilan jiwa; semakin saya dalami, saya semakin terlibat dalam kesenian ini," katanya kepada Khabar.
Ketertarikannya pada Ludruk bermula pada saat masih duduk di bangku SMA dimana ia bergabung dalam teater dan terlibat dalam Ludruk.
"Hal itu memungkinkan saya untuk berperan dalam melestarikan budaya lokal ini. Saya terkesan dengan banyak teman sekelas saya. Mereka tidak mendapat uang, tetapi mereka tetap bermain Ludruk. Inilah yang mendorong saya untuk terus tampil," ujarnya.
Teman sekelompoknya, Ariesta Widia Yuriska, 25, telah bermain teater Ludruk sejak duduk di bangku SD. Dengan beberapa perubahan modern - contohnya dengan memasukkan budaya populer orang muda - ia percaya bahwa Ludruk dapat menarik hati penonton lebih banyak.
"Ludruk harus berubah format dan penampilan jika ingin tetap dicintai orang," katanya. "Penampilan Ludruk biasa hanya akan menarik perhatian sedikit dari masyarakat - sekitar 20 orang saja. Akan tetapi dengan beberapa perbaikan, Ludruk dapat menarik penonton yang lebih banyak.
Siswi SMA berumur 15 tahun Kusuma Erina mengatakan bahwa pertunjukan tersebut membuatnya terkesan, dan bahwa ia menyukai kostum dan riasan para pemain.
"Ludruk sekarang berubah, tidak monoton. Ini lebih berenergi," katanya. "Pemerintah Jawa Timur seharusnya lebih memperhatikan kesenian ini, dan mungkin mempertimbangkan untuk membantu mempromosikan Ludruk."
SELESAI